Sore itu, langit Bandung nampak
cerah. Di dalam sebuah bus yang penuh sesak, Ferry duduk di jok belakang.
Suasana di dalam bus yang tidak nyaman, ditambah bau keringat para penumpang
lain membuat Ferry sesekali harus menutup hidung dengan buku yang dipegangnya.
Beberapa penumpang nampak tidak sabar dan terdengar menggerutu karena kemacetan
yang cukup panjang yang membuat laju bus serasa merayap. Hari ini adalah
weekend atau lebih tepatnya long weekend. Menjelang long weekend seperti hari
ini dan juga weekend-weekend yang lainnya, Bandung selalu diserbu para pecinta
fashion yang tidak ingin ketinggalan mode terkini. Factory-factory outlet yang
semakin menjamur adalah sarana pemuas kebutuhan mereka yang satu ini. Tak heran
jalan-jalan di Bandung hampir dapat dipastikan selalu macet seperti ini. Ferry tidak
ambil pusing dengan kemacetan yang terjadi. Ia sedang asik dengan lamunannya
sendiri. Pikirannya melayang pada beberapa peristiwa yang mengganjal pikirannya
akhir-akhir ini. Betapa tidak, beberapa teman sekantornya kerap menyinggung-nyinggung
soal kapan ia akan menikah. Memang, diantara rekan sekerjanya, hanya tinggal
Ferry, Dicky dan Ardhi yang masih lajang, selebihnya mereka sudah menikah
bahkan telah dikaruniai putra. Masih segar dalam ingatan Ferry perkataan
teman-temannya itu. “Fer, masih betah membujang kau rupanya ya?”, sindir Irwan
di sela-sela lunch siang itu, di sebuah kafe di dekat kantor. “Iya, Fer.
Katanya segera menyusul setelah aku menikah?” suara Robby sang pengantin baru yang
memang baru melangsungkan pernikahannya dua minggu yang lalu. “Kerja udah
mapan. Nunggu apa lagi fer?”, yang lain ikut nimbrung. “Memang kamu nggak ingin
sepulang kamu dari kantor ada yang menyambutmu, menyiapkan makan, memijitimu
kalau kamu capek?” sambung Irwan lagi. Jika sudah begini, biasanya Ferry hanya
bisa senyum-senyum kecut menanggapi sindiran-sindiran itu. Apa lagi yang dapat
ia lakukan kecuali tersenyum? Baginya menikah tidaklah semudah seperti apa yang
dipikirkan teman-temannya. Ada banyak hal yang harus ia penuhi terlebih dahulu
sebelum mewujudkan bahtera rumah tangga impiannya, di samping berbagai hal yang
harus ia selesaikan sebelum menikah.
“Aqua, Aqua, Permen, Permen Mas?”
suara pedagang asongan itu membuyarkan lamunan Ferry. Bus yang ia tumpangi
sekarang benar-benar berhenti. Di depan lampu merah menyala dan sudah dimaklumi
bersama, lampu pengatur jalan di perempatan ini kalau sudah menyala merah, maka
akan memakan waktu yang lama sebelum berubah menyala kuning dan akhirnya hijau.
Saat weekend seperti ini, Ferry ingin cepat-cepat sampai di tempat kosnya untuk
memanjakan diri dengan menyewa beberapa film box office yang dapat membantunya
menghilangkan kepenatan setelah lima hari kerja, tidur sepanjang siang atau
membaca novel-novel yang belum sempat ia baca. Ferry menggeser sedikit
duduknya. Dibukanya novel digenggamannya yang baru ia beli kemarin. Matanya
menatap deretan huruf yang tertera pada halaman buku itu, namun lamunannya
kembali melayang ke masa tiga tahun yang lalu. Ketika itu ia masih duduk di
bangku kuliah sebuah universitas di Bandung. Satu pesan orang tuanya yang
teramat sangat melekat diingatannya, yaitu agar ia dapat membiayai adik-adiknya
kuliah kalau ia sudah bekerja nanti. “Kamu anak sulung dan adik-adikmu banyak.
Ibu harap kamu bisa menyekolahkan adik-adikmu itu. Jangan hanya kamu yang
pinter?” suara ibu ketika Ferry pulang untuk memberitahukan bahwa tugas akhirnya
sudah selesai dan akan disidangkan dua minggu lagi. “Indah ingin kuliah di UGM,
Citra ingin kuliah di UI, sedangkan Hedi ingin meneruskan ke STM setelah
lulusnya dari SMP. Belum lagi si kembar Rafli-Rafki yang masih SD?” kata Ayah
sambil matanya menerawang. “Ayahmu ini sudah tua. Mana sanggup membiayai semua
kebutuhan mereka kelak?” sambungnya lagi. “Kamu harus membantu Bapak agar
keluarga kita menjadi orang-orang terdidik?” Batin Ferry membenarkan. Kapan
lagi dia dapat membalas kebaikan orang tuanya. Untuk menyekolahkannya sampai ke
perguruan tinggi, orang tua Ferry harus menjual sawah warisan keluarga. Walau
orang tuanya termasuk mampu, Ferry tidak yakin orang tuanya dapat menyekolahkan
seluruh anaknya sampai ke perguruan tinggi. Tidak tega rasanya Ferry melihat
orang tuanya terpaksa merelakan satu demi satu warisan keluarga dijual untuk
membiayai kuliah adik-adiknya. Sekaranglah saatnya Ferry membalas semua itu.
Jangan heran kalau gaji yang diterima Ferry setiap bulan selalu habis. Uang
tabungan pun tidak pernah menganggur. Uangnya selalu mengalir ke rekening Indah
di Yogya dan Citra di Depok, kedua adiknya ini akhirnya bisa masuk universitas
favorit pilihan mereka. Lalu kalau ia berumah tangga, bagaimana nasib
keluarganya kelak. Mau dikasih makan apa istri dan anaknya nanti. Ferry menarik
nafas dalam-dalam sebelum akhirnya menghempaskannya. Melalui hembusan nafasnya,
Ferry ingin melepas sebagian beban-bebannya. Oh tidak. Suara batin Ferry demi
melihat laki-laki disebelahnya mengeluarkan sebungkus rokok dari dalam saku
jaketnya. Dengan santai laki-laki itu mengmbil sebatang rokok dan
menyalakannya. Ya Allah, bagaimana ada orang yang rela bukan hanya mencelakakan
orang lain tapi dirinya sendiri terjerumus dalam kebinasaan dan kesia-siaan.
Ferry hanya bisa menggerutu dalam hati. Tak ada yang dapat ia lakukan kecuali
menahan kekesalannya di dada. Semoga orang itu terbuka hati nuraninya untuk
tidak mendzolimi lebih banyak orang dengan asap rokoknya. Bisik hatinya
kemudian. Ferry akhirnya menutup novel yang dipegangnya lalu memasukkannya ke
dalam tas. Percuma saja ia mengalihkan perhatiannya dengan membaca. Nyatanya
lamunannya lebih dominan dari pada konsentrasi yang ia butuhkan untuk
menelusuri cerita dalam novel itu. Ia menoleh ke jendela. Dilihatnya orang
berlalu lalang tenggelam dalam aktivitas masing-masing untuk mengimbangi
perputaran waktu dalam kehidupan. Hidup terus berputar sehingga siapapun yang
berhenti, putus asa, tak perpengharapan dan menyesali diri akan tergilas
olehnya. Seperti kehidupan, roda bus yang ditumpanginya terus melaju dan melaju.
Kalau sudah bicara mengenai hakikat hidup, kehidupan dan bagaimana kita
mensikapi hidup, pikiran Ferry akan langsung tertuju pada Fuad teman satu
kosnya, yang walaupun usianya relatif lebih muda darinya, namun kedewasaannya
dalam berfikir tidak dapat diragukan lagi. Suatu saat, Fuad pernah menyinggung
masalah konsepsi pernikahan dalam Islam. Betapa pernikahan adalah penyempurna
dien seorang muslim, betapa nilai ibadah yang begitu besar akan didapatkan
melalui wadah yang satu ini, dan fenomena pergaulan remaja yang tak terkendali
menyebabkan siapa saja yang lemah imannya mudah tergelincir, bahkan jatuh pada
jurang kenistaan. “Bayangkan saja Fer, ketika seorang suami berangkat kerja di
pagi hari dengan niatan mencari nafkah untuk anak dan istrinya, maka jam demi
jam yang dilaluinya terhitung sebagai ibadah?” “Bukan hanya itu, kata-kata
gombal seorang suami demi menyenangkan hati istrinya pun akan terhitung
berpahala?” “Belum lagi jariyah yang akan kita dapatkan dengan mendidik anak
yang shaleh dan shalehah. Wah, pokoknya tiada waktu yang kita lewati bersama
keluarga yang tidak bernuansa ibadah?” Fuad begitu antusias kalau berbicara
masalah yang satu ini. Ia akan betah berjam-jam mengeluarkan segala argumennya
dan Ferry harus rela menjadi pendengar setia yang hanya bisa mengangguk-angguk
karena domonasi pembicaraan adalah milik Fuad. Ferry setuju-setuju saja dengan
argumen temannya itu. Kalau sampai sekarang ia belum memutuskan untuk segera
menikah itu bukan karena ia tidak ingin seluruh waktu yang ia miliki bernuansa
ibadah. Pernah suatu saat Ferry mengungkapkan alasannya menunda pernikahannya
pada Fuad. Dan seperti yang sudah Ferry perkirakan sebelumnya, jawaban Fuad
adalah “Allah telah mengatur rejeki setiap makhluk yang ada di muka bumi” Kalau
hanya itu Ferry sudah tahu. Tak ia ragukan sedikitpun kekuasaan-Nya. Namun
semua harus diperhitungkan dengan matang. Walaupun Allah yang akan menentukan,
namun manusia diberi kekuatan untuk berikhitar, mempersiapkan dan merencanakan
dengan perhitungan matematis yang walaupun tidak dapat dijadikan jaminan hasilnya
mendekati realistis. “Sudah punya calon?”, tiba-tiba pembicaraan dua orang
wanita yang duduk di bangku depan terdengar bagai pertanyaan untuk Ferry. Diperhatikannya
dua wanita berjilbab di depan. Ah, ia tidak mengenalnya, bahkan mereka tak
sedikitpun menghentikan obrolan yang sesekali diselingi canda itu. Calon?
Siapakah yang menjadi istrinya kelak? Ah, Dani tidak mau memikirkannya sampai
ia benar-benar siap, sampai kedua adiknya Indah dan Citra lulus kuliah, sampai
ia mampu mengontrak rumah yang layak huni.***
Epilog :
“Papa, Mama, lihat! Ade sudah bisa
menggambar pohon?, Ferry tersenyum melihat Sabrina, putri cantiknya yang bulan
depan usianya genap 4 tahun. Seorang wanita berjilbab yang duduk di sebelahnya
menghampiri buah hati mereka. “Ade menggambar pohon apa?” Dan demikianlah.
Ternyata tidak semua yang direncanakan Ferry berjalan sesuai keinginannya. Ia
menikah lima tahun yang lalu dengan seorang wanita yang diperkenalkan Fuad
kepadanya. Satu bulan waktu untuk mereka saling mengenal sebelum akhirnya Ferry
mengakhiri masa lajangnya. Keputusannya itu bukan tanpa restu kedua orang tua
Ferry. Mereka setuju ketika Ferry mengutarakan maksudnya untuk menikah. Indah
dan Citra cukup tahu diri untuk tidak selamanya bergantung pada kakaknya yang
satu ini. Berbekal IPK yang memuaskan, mereka berburu beasiswa. Alhamdulillah
sekarang mereka tidak terlalu memberatkan keuangan Ferry dengan beasiswa yang
mereka dapatkan. Paling tidak untuk biaya kuliah selama semester III dan IV,
mereka tidak harus meminta kepada Ferry lagi. Sedangkan ketiga adiknya yang
lain masih bisa dibiayai ayah ibunya dari gaji ayah sebagai PNS. Tak ada lagi
alasan untuk menunda berumah tangga. Semua pencarian dan keinginannya utuk
mewujudkan cita-citanya akan ia raih bersama orang-orang yang dicintai dan
mencintainya.
(Cerita ini dibuat untuk sahabatku yang menikah 4 tahun yang lalu dengan wanita pilihannya. Tetap
semangat bro! semoga senantiasa menjadi keluarga SAMARA)
A Dimmy Zulhifansyah
@adimmyz
Medio Maret 2013